PIERRE BOURDIEU DAN KONSEP HABITUS BARU
Oleh : Ignas Kleden
Bourdieu dikenal pertama-tama sebagai seorang sosiolog yang mencoba menyelesaikan ketegangan yang ada dalam marxisme ortodoks antara basis dan super-struktur atau antara ekonomi dan kebudayaan. Dalam pandangan Bourdieu ilmu ekonomi selama ini membatasi dirinya hanya pada produksi serta pertukaran barang dan jasa. Di lain pihak kebudayaan hanya berurusan dengan nilai-nilai. Menurut Bourdieu pandangan itu harus diubah secara radikal, karena produksi dan pertukaran terjadi bukan hanya pada barang dan jasa tetapi juga pada bidang kebudayaan dan bidang sosial.
Konsepnya tentang modal atau kapital sudah menunjukkan hal ini. Bourdieu membedakan berbagai macam kapital.
Modal ekonomi berupa segala sesuatu yang dengan mudah dapat dikonversikan menjadi uang;
Modal kultural berupa penguasaan informasi dalam segala bentuknya;
Modal sosial berupa semua sumberdaya yang didasarkan pada hubungan sosial dan keanggotaan dalam suatu kelompok;
Modal simbolik yaitu status yang diberikan kepada setiap modal tersebut apabila telah mendapat pengakuan dan penerimaan oleh publik
Dengan demikian dalam suatu masyarakat kapitalis yang sangat menghargai uang maka orang yang bermodal mempunyai keuntungan simbolik (symbolic profit) yang tinggi. Sebaliknya di kalang-an para aktifis LSM seorang yang mem-punyai modal sosial mendapatkan keuntungan simbolik yang lebih banyak, karena yang dibutuhkan dalam kalangan ini adalah jaringan (networking) yang luas. Atau dalam kalangan akademisi atau inteligens orang yang mempunyai banyak pengetahuan atau informasi dianggap memiliki keuntungan simbolik yang tinggi.
Dengan demikian segala kategori yang ada dalam ekonomi berlaku juga dalam bidang kebudayaan dan bidang sosial. Jadi ada pasar budaya (cultural market) dan pasar sosial (social market) yang dinamikanya tidak banyak berbeda dari pasar barang dan jasa. Demikian pun produksi dan pertukaran tidak hanya berlaku pada barang dan jasa tetapi juga dalam kebudayaan dan bidang sosial. Jadi ada pertukaran budaya (cultural exchange) dan ada pertukaran sosial (social exchange) dan ada pula pertukaran sosial dan produksi sosial. Bab pertama dari sebuah bukunya diberi judul "The Field of Cultural Production or: The Economic World Reversed".
Dalam ekonomi sebagaimana yang digagas oleh Bourdieu market atau field memainkan peranan yang amat penting. Karena suatu market atau field adalah suatu ruang terstruktur yang memuat di dalamnya berbagai posisi, di mana posisi-posisi itu dan interelasinya ditentukan oleh distribusi berbagai kapital. Tingkah laku seseorang atau sekelompok orang merupakan hasil hubungan saling pengaruh di antara field atau market dengan habitus. Karena itu juga suatu field selalu menjadi medan untuk persaingan. Tanggapan dan sikap terhadap persaingan itu sangat tergantung pada habitus seseorang.
Pengertian habitus sendiri sebagaimana digagaskan oleh Bourdieu penuh dengan sofistikasi dan distingsi, dan tidak selalu dapat disederhanakan dengan mudah. Untuk memudahkan uraian sebaiknya dikutip konsep Bourdieu sendiri. Habitus adalah :
systems of durable, transposable dispositions, structured structures predisposed to function as structuring structures, that is, as principles which generate and organize practices and reperesentations that can be objectively adapted to their outcomes without presposing a concious aiming at ends or an express mastery of the operations necessary in order to attain them. Objectively 'regulated' and 'regular' without being in any way the product of obedience to rules, they can be collectively orchestrated without being the product of the organizing action of a conductor.
Habitus adalah sistim atau perangkat disposisi yang bertahan lama dan diperoleh melalui latihan berulang kali (inculcation).
Dia lahir dari kondisi sosial tertentu dan karena itu menjadi struktur yang sudah diberi bentuk terlebih dahulu oleh kondisi sosial di mana dia diproduksikan (structured structures).
akan tetapi disposisi yang terstuktur ini sekaligus berfungsi sebagai kerangka yang melahirkan dan memberi bentuk kepada persepsi, representasi dan tindakan seseorang dan karena itu menjadi structuring structures.
sekalipun habitus lahir dalam kondisi sosial tertentu dia bisa dialihkan ke kondisi sosial yang lain dan karena itu bersifat transposable.
habitus bersifat pra-sadar (pre-conscious) karena ia tidak merupakan hasil dari refleksi atau pertimbangan rasional. Dia lebih merupakan spontanitas yang tidak disadari dan tidak dikehendaki dengan sengaja, tetapi juga bukanlah suatu gerakan mekanistis yang tanpa latar belakang sejarah sama sekali.
bersifat teratur dan berpola tetapi bukan merupakan ketundukan kepada peraturan-peraturan tertentu. Habitus tidak merupakan a state of mind tetapi a state of body dan menjadi the site of incorporated history.
habitus dapat terarah kepada tujuan dan hasil tindakan tertentu tetapi tanpa ada maksud secara sadar untuk mencapai hasil-hasil tersebut dan juga tanpa penguasaan kepandaian yang bersifat khusus untuk mencapainya
Pertanyaan yang menarik adalah apa bedanya habitus dengan apa yang sebe-lum Bourdieu dikenal sebagai pola-pola budaya (cultural patterns)?
Perbedaan utama ialah bahwa dalam pan-dangan antropologi budaya, kebudayaan sudah diterima sebagai given sedangkan dalam habitus sangat ditekankan proses pementukannya melalui latihan berulang kali (inculcation). Demikian pula kebudayaan selalu mengandung nilai yang nor-matif, sedangkan habitus lebih merupa-kan kecenderungan dalam badan kepada untuk melakukan persepsi dan tindakan tertentu, tanpa kaitan langsung dengan norma-norma yang disadari, tetapi juga bukan suatu tindakan mekanis tanpa la-tar belakang sejarah sama sekali.
PERTIMBANGAN KRITIS TENTANG KONSEP HABITUS
Kalau habitus hendak diterapkan dalam kehidupan rohani, maka gagasan ini menawarkan beberapa keunggulan sekaligus keterbatasannya. Beberapa segi keunggulannya adalah:
habitus terbentuk melalui latihan terus menerus dan terbentuk dalam konteks sosial yang konkrit yang dalam kasus kita berarti terbentuk dalam umat basis yang menjadi lingkungan yang terdekat
habitus menolak sikap yang mekanistis, jadi harus ada suatu latar belakang sejarah dan pendidikan yang menjadi dasarnya;
habitus menunjuk suatu tingkat internalisasi yang sangat mendalam karena ia merupakan sejarah yang sudah membadan (embodied history), jadi sangat cocok dengan konsep inkarnasi dalam teologi Kristen;
dia juga transposable yaitu dapat dialihtempatkan, jadi kebiasaan yang terbentuk dalam kehidupan rohani seseorang dapat ditransfer juga ke kehidupan sosial, tanpa rujukan langsung ke norma-norma keagamaan yang menjadi dasarnya; sifat ini sesuai dengan sekularisasi iman ke dalam bidang-bidang sosial politik atau bidang pendidikan misalnya.
demikian pula habitus bersifat generative yang berarti kebiasaan yang sudah terbentuk tidak bersifat statis tetapi cenderung menghasilkan persepsi dan tindakan-tindakan tertentu.
Sekalipun demikian keunggulan sifat-sifat habitus ini juga akan menyebabkan keterbatasannya dalam penerapan. Salah satu kelemahan habitus yang pokok pada hemat saya ialah bahwa ia tidak bersifat reflektif (sekalipun juga tidak mekanis), sementara kehidupan rohani menuntut refleksi terus menerus dengan rujukan yang sadar kepada nilai-nilai dan motivasi yang melandasi suatu tindakan. Kekurangan ini dapat diatas kalau momen refleksi itu kembali dimasukkan ke dalam habitus, agar supaya persepsi dan praktek yang didorong oleh habitus dapat memperoleh maknanya kembali.
SUMBER:
KUMPULAN MAKALAH
DAN BACAAN PELENGKAP
SAGKI 2005
HABITUS (BARU)
Oleh Al. Andang L. Binawan
1.Habitus dalam arti tertentu memang bisa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai ‘kebiasaan’, setelah habitus diadopsi dalam bahasa Inggris menjadi habit. Hanya saja, dalam konteks Nota Pastoral Sidang KWI, November 2004, (“Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa, Keadilan Sosial Bagi Semua: Pendekatan Sosio-Budaya”), habitus dimaknai sebagai “gugus insting, baik individual maupun kolektif, yang membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak dan cara berelasi seseorang atau kelompok” (NP butir 10).
2.Selanjutnya, dalam catatan kaki no.1 Nota Pastoral itu, dengan mengacu pada pendekatan psikologi menurut Dr. Hubertus Kasan Hidayat, DSJ dalam bukunya Gangguan Kepribadian dan Perilaku Masa Dewasa, Catatan Kuliah Ilmu Kedokteran Jiwa (Jakarta 1996, hal.1) diterangkan lebih lanjut bahwa “Kadang-kadang kata ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi watak. Sementara itu kata watak juga menterjemahkan kata karakter yang berarti keseluruhan keadaan dan cara bertindak terhadap suatu rangsangan. Watak terus berkembang dalam masa kehidupan seseorang. Watak berkaitan erat dengan fungsi saraf pusat. Watak juga dipengaruhi oleh faktor eksogen, seperti lingkungan, pengalaman dan pendidikan”.
3.Baik dicatat juga bahwa yang dimaksud ‘insting’ bukanlah insting dalam arti naluri yang sudah tertanam dalam diri manusia dan tak bisa diubah. Insting yang dimaksud disini adalah kemampuan bereaksi yang kurang-lebih spontan dari manusia, terhadap suatu masalah, yang akan menjelma dalam seluruh sikap dan tindakannya. Sikap dan tindakan (yang diharapkan menjadi ‘kebiasaan’) ini dikatakan sebagai “cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak dan cara berelasi seseorang atau kelompok”. Karena bukan sesuatu yang tetap, gugus insting ini bisa diubah dan dibentuk melalui suatu proses yang relatif panjang.
4.Kata ‘gugus’ menunjukkan adanya kesatuan dari beberapa elemen pembentuknya, yang diandaikan saling terkait dengan erat dan saling dukung, serta ada konsistensi di dalamnya. Elemen-elemen itu antara lain “sikap dasar terhadap Tuhan, terhadap diri, terhadap manusia, terhadap masyarakat, terhadap pemerintah, terhadap dunia bisnis, terhadap perempuan, terhadap alam/lingkungan hidup, dan sebagainya. Masing-masing elemen sikap itu ada dalam diri manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok, dan akan menjadi habitus bila saling terkait dan tidak saling kontradiktif atau saling meniadakan, lalu mendasari cara bereaksi terhadap masalah yang dihadapi, baik secara emotif (rasa-perasaan) maupun secara kognitif (pemahaman) dan motoris (tindakan).
5.Habitus ini punya kaitan timbal-balik dengan keadaban publik. Pertama-tama, perhatian terhadap keadaban publik menjadi salah satu elemen dasar habitus yang mau dibentuk. Maka, kalau dikatakan bahwa “keadaban publik harus men-jadi habitus baru bangsa ini”, hal itu berarti bahwa keadaban publik, yang selama ini ditengarai kurang menjadi perhatian bersama, secara sadar perlu dimasukkan dalam habitus baru. Dengan kata lain, dalam habitus lama keadaban publik dilupakan (misalnya karena masing-masing poros hanya memperhatikan dirinya sendiri), maka dalam habitus baru keadaban publik dijadikan inti dan sekaligus cakrawala habitus baru. Di situ pun menjadi jelas bahwa upaya untuk mewujudkan keadaban publik baru itu pun pada gilirannya akan makin membentuk habitus itu.
6.Keadaban publik sering diartikan sebagai keseimbangan relasi antara ketiga poros dalam kehidupan masyarakat: poros masyarakat warga, poros pasar dan poros badan publik. Ketiga poros ini masing-masing mempunyai cara pikirnya, juga kepentingannya sendiri, tetapi tidak berarti tidak bisa dipertemukan. Dari sini cukup jelas bahwa yang perlu dimasukkan sebagai elemen dasar habitus baru adalah kepentingan bersama atau kebersamaan hidup sebagai masyarakat itu, bukan sekedar kepentingan sesama yang bersifat individual.
7.Kata habitus ini mempunyai unsur paradigma. Artinya, pengertian tentang makna paradigma tercakup juga dalam kata habitus. Bedanya, jika paradigma lebih bermakna kognitif, habitus lebih dalam dari sekedar pemahaman. Habitus mencakup kedalaman sikap hidup. Dalam hal inilah, ajaran iman kristiani bisa membentuk habitus yang baru dalam masyarakat, dimulai dari para penganutnya. Ajaran kristiani menyediakan beberapa ‘nilai’ yang bisa dijadikan elemen habitus baru itu.
8.Sebagai contoh, sumber nilai kristi-ani yang bisa dijadikan elemen habitus baru adalah Sabda Bahagia dan Khotbah di Bukit (Mat.5-7). Dikatakan disitu, dimana ada nafsu untuk memiliki dan ke-takutan untuk memberi serta berkorban, Yesus menyerukan semangat kemiskinan di hadapan Allah. Dimana ada kecenderungan untuk menggunakan kekerasan dan kekuatan apabila hak-hak dilanggar. Yesus menawarkan kelembutan dalam perjuangan dan pengharapan pada Allah yang memperhatikan jeritan penderitaan orang-orang lemah. Dimana ada ketakutan menghadapi kekuasaan yang sewenang-wenang, Yesus menjamin kebahagiaan bagi orang-orang yang tidak takut dicela dan dianiaya dalam memperjuangkan kebenaran. (bdk. Mat 5:3-5, 10-12). Dimana agama dilaksanakan secara lahiriah dan setengah-setengah, Yesus menantang kita untuk mengembangkan komitmen iman yang radikal (bdk. Mat 5:17-48).
9.Ada banyak contoh lain. Misalnya, ketika masyarakat lebih berpihak pada yang kuat dan yang menang, ajaran kristiani menganjurkan untuk mulai dari yang kecil-lemah dan tersingkir. Ketika masyarakat banyak mengiring warganya menyembah uang, ajaran kristiani mewartakan Allah yang solider dan Maharahim, yang tidak memakai uang sebagai alat ukur dan mengingatkan adanya dimensi sosial pada harta/uang. Pun, ketika masyarakat membiarkan prinsip tujuan menghalalkan cara supaya tujuan dicapai dengan gampang dan cepat, ajaran kristiani mendorong untuk mulai dari yang kecil, dari diri sendiri, dalam budaya damai, dialog, kerjasama, musyawarah dan saling hormat, yang notabene memerlukan proses yang panjang tidak gampang.
10.Contoh lebih konkret juga diusahakan oleh Gereja Katolik Indonesia. Pada tahun lalu, sebulan setelah dikeluarkannya Nota Pastoral KWI 2004, para uskup Indonesia juga mengeluarkan sebuah surat gembala berjudul “Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki sebagai Citra Allah”. Yang mau diusahakan adalah habitus baru terhadap kepentingan bersama antara laki-laki dan perempuan. Secara ringkas, yang mau dikatakan adalah bahwa perempuan itu sederajat dengan laki-laki, sehingga tidak bisa dijadikan sarana atau harta begitu saja. Inilah habitus baru, yang dikontraskan dengan habitus lama yang melihat perempuan sebagai warga kelas dua atau bahkan banya dipandang sebagai pelengkap laki-laki.
11.Nilai-nilai kristiani (seperti antara lain disebut di atas) itulah yang kiranya perlu ‘di-dialog-kan’ dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dengan ketiga porosnya. Perlu diingat bahwa pada dasarnya setiap poros mempunyai cara berpikirnya (dan juga kepentingannya) sendiri, yang belum tentu sesuai dengan nilai kristiani meski mungkin tidak berarti bertentangan sama sekali. Dialog nilai inilah yang diharapkan menjadi nilai yang mendasari keadaban publik baru dan pada gilirannya diupayakan menjadi habitus yang baru.
12.Dari situ tampak jelas bahwa yang tidak kalah penting dicatat adalah pentingnya syarat pertobatan: dari habitus lama untuk membentuk habitus baru. Bertobat berarti mengubah sikap dan hati, menentukan arah dasar hidup serta menata ujung mentalitas. Proses pertobatan membawa orang dari jalan yang salah ke jalan yang benar. Dengan pengertian seperti ini Gereja dapat membawa reformasi rohani yang amat diperlukan untuk berhasilnya reformasi nilai dan selanjutnya reformasi politik. Dalam situasi ideal, Gereja dapat memelopori reformasi rohani sedangkan budaya mendorong reformasi nilai. Sementara itu warga negara membangun reformasi politik.
13.Benar, jelas bukan perkara gam-pang, tetapi jelas menjadi perintah Tuhan agar kita membangun kerajaanNya di dunia, yaitu “kerajaan yang berpedoman kebenaran dan kehidupan, kerajaan yang memancarkan kesucian dan rahmat, kerajaan yang berlimpahan keadilan, cinta kasih dan damai” (Prefasi Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam; bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Patoral Tentang Gereja Di Dunia Dewasa Ini, no.39). Tantangan memang besar, dan bisa membuat gamang, tetapi kita melandaskan harapan dan perjuangan kita pada keyakinan iman yang teguh bahwa “Ia yang memulai perkerjaan yang baik di antara kita, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus” (Flp.1:6).
HABITUS BARU
Oleh: B. Herry-PriyonoApa kira-kira nama bagi tahun 2005? Rasanya ia seperti sungai-waktu yang baru saja kita selami, tetapi arus dasarnya belum juga kita kenali. Hari ini kita sejenak diam, merasakan arusnya yang sedang surut menjadi silam.Dengan pesta-bunyi kita akan menyambut pagi meskipun tetap saja ada rasa menyesakkan berada di ruang-waktu negeri ini. Inilah negeri yang berulang kali ingin menyembuhkan diri, tetapi setiap kali kita dapati lagi sedang menghancurkan diri.Para mandarin kebijakan publik telah mencoba banyak cara. Ada cara hukum, cara ekonomi, dan tentu cara politik. Namun, seperti raksasa yang pingsan, negeri ini belum juga siuman. Mungkinkah cara-cara yang ditempuh selama ini kelewat dangkal untuk menembus cacat yang jauh lebih mendalam?Banyak produk hukum baru telah dihasilkan, tetapi belum juga tumbuh keteraturan. Demikian pula banyak program ekonomi telah dilakukan, tetapi malah menggiring semakin banyak orang ke gurun kemiskinan. Dan perubahan politik perwakilan telah dicoba, tetapi hasilnya cuma kebiasaan anggota DPR melancong sambil belanja.Setiap kebijakan punya batas lantaran ia berjalan di atas endapan kebiasaan hidup sehari- hari kita yang membentuk Indonesia seperti yang kita hidupi sekarang. Dan gugus kebiasaan itu rupanya jauh lebih keras-kepala dibandingkan dengan berbagai perangkat kebijakan yang timbul tenggelam. Istilah bagi gugus kebiasaan itu adalah habitus.Lapis kebiasaanHabitus adalah kata biasa dalam bahasa Latin. Ia bisa berarti kebiasaan, bisa pula tata pembawaan atau penampilan diri. Semua mau menunjuk kecenderungan atau pembawaan diri yang telah menjadi insting perilaku yang mendarah daging, semacam pembadanan dari kebiasaan kita dalam rasa-merasa, memandang, mendekati, bertindak, atau berinteraksi dalam kondisi suatu masyarakat. Ia dipakai secara netral, baik untuk gugus kebiasaan yang dianggap terpuji maupun tercela. Ia dipakai untuk menunjuk kebiasaan banyak anggota DPR melancong dengan dalih studi banding maupun untuk kebiasaan spontan membuang sampah pada tempatnya.Sebagai gugus kebiasaan rasa-merasa, memandang, serta bertindak, habitus bersifat spontan dan tidak disadari pelakunya, tidak pula disadari apakah kebiasaan itu terpuji atau tercela. Orang tidak sadar akan habitus-nya, sebagaimana orang tidak sadar akan bau mulutnya.Melalui laku refleksi, istilah tua itu diangkat dan dikembangkan almarhum Pierre Bourdieu, pemikir Perancis, sebagai teropong analisis. Ia berguna, salah satunya, untuk menyingkapkan lapis tersembunyi dari penyebab banyak kemacetan suatu masyarakat seperti yang terjadi di Indonesia. Dengan berguru sejenak kepadanya, dan dengan risiko penyederhanaan berlebihan, banyak kemacetan di negeri ini mungkin terjadi lantaran dua kecenderungan berikut ini. Di satu pihak, anggapan bahwa kita adalah kerumunan yang bisa dibentuk menjadi apa saja sesuai dengan arah program kebijakan. Apa yang diperlukan adalah konsistensi penerapan kebijakan, dan perilaku tiap orang Indonesia akan berubah sebagai produk jelmaan dari corak kebijakan. Di lain pihak, anggapan bahwa dengan bebas kita bisa membentuk kehidupan bersama menurut kemauan pribadi kita masing-masing. Karena itu, berbagai kemacetan yang kita hadapi hanya mungkin diatasi dengan perubahan pada lingkup pribadi.Kedua kecenderungan itu tidak sepenuhnya keliru, tetapi juga ada sesuatu yang kurang, meskipun sulit ditunjukkan. Mengapa banyak program yang sangat terpuji sekalipun mudah berguguran? Selain itu juga, mengapa kehendak pribadi yang paling mulia sekalipun mudah patah dihadang corak perilaku kerumunan?Untuk melampaui tegangan seperti itu, ada sasaran bidik lebih sentral yang mesti dijadikan fokus. Fokus itu adalah endapan berbagai kebiasaan kita dalam rasa-merasa, memandang, dan bertindak yang disebut habitus. Habitus bukan lagi sebatas kebiasaan seseorang, melainkan seluruh gugus kebiasaan sosial yang tampak dalam corak praktik sehari-hari hidup bersama kita, dari praktik korupsi sampai perusakan hutan, dari kebiasaan plagiat sampai kebiasaan mengemplang utang yang dilakukan banyak bank kelompok bisnis di Indonesia dengan ujung pada kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).Ambillah contoh yang setiap hari ada di depan mata, yaitu lalu lintas. Salah satu gejala dari habitus berlalu lintas tampak pada momen di perempatan. Lampu lalu lintas sudah berubah merah, tetapi banyak mobil/motor tetap melaju. Andaikan Anda warga negara Malaysia yang baru saja tiba dari Kuala Lumpur dan mengendarai mobil di Jakarta, melihat lampu lalu lintas berwarna merah Anda berhenti, tetapi mobil/motor di belakang membunyikan klakson keras-keras, memaksa Anda melaju. Terkejut dengan cara itu, Anda geleng-geleng kepala, lalu terpaksa melaju.Daya paksa kebiasaan berlalu lintas di Jakarta terhadap Anda yang taat hukuman itu sedemikian rupa sampai Anda merasa tak mungkin berada di jalan tanpa mengikuti habitus preman dalam berlalu lintas. Maka, ke dalam gugus habitus berlalu lintas di Jakarta ditambahkan seorang pelaku baru, yaitu Anda. Dengan itu, jarak antara aturan lalu lintas dan praktik berlalu lintas juga semakin jauh.Lapis perubahanContoh kecil itu bisa direntang untuk soal-soal lain. Semua menunjuk ciri berbondong-bondong seperti kawanan-hewan (herd) yang menandai kinerja habitus. Pokok ini juga bisa melunakkan keyakinan kita yang terlalu mulia tentang sifat sadar perilaku kita. Dalam habitus kita tidak sesadar seperti cita-cita para filsuf meskipun juga tidak semekanis seperti mesin. Mungkin benar apa yang ditulis penyair Romawi Ovidius sekitar 2.000 tahun lalu: Tak ada yang lebih kuat daripada kebiasaan.Jadi, selama ini rupanya berbagai program kebijakan di bidang ekonomi, politik, atau hukum berdiri tipis di atas endapan luas kebiasaan kita yang jauh lebih mendalam daripada lapis yang dibidik berbagai kebijakan itu. Program ekonomi, misalnya, bisa saja membentuk bingkai ekonomi pasar. Namun, dengan corak habitus kita sekarang, lebih mungkin yang berkembang biak adalah para maling, dan bukan pelaku pasar.Akan tetapi, bukankah gugus-gugus kebiasaan itu bisa diubah oleh kebijakan? Mungkin! Namun, dari kegagalan berbagai kebijakan cukup jelas bahwa habitus yang beroperasi pada lapis kedalaman jauh lebih keras kepala daripada yang kita bayangkan. Yang lebih mungkin bukan program kebijakan yang mengubah habitus, melainkan kinerja habitus yang meremuk kebijakan. Itulah mengapa bahkan banyak kebijakan yang terpuji dengan cepat mengalami pembusukan lalu berguguran.Jadi, soalnya bukan sebatas ketepatan kebijakan, melainkan transformasi gugus habitus pada skala sebesar bangsa. Cuma, sama seperti watak habitus, kita adalah orang-orang yang telanjur keras kepala, tidak akan percaya tanpa bukti di depan mata. Maka, hanya dari bidang-bidang yang kasatmata itu pula proyek pembentukan habitus baru dapat dimulai. Perubahan gugus kebiasaan pada dataran yang paling kasatmata ini niscaya akan memberi kita pengalaman rasa-merasa baru soal negeri yang sudah lama lebih mengenal keputusasaan ketimbang harapan.Gugus kebiasaan yang paling kasatmata menunjuk gejala sekonkret seperti kebiasaan berlalu lintas, kebiasaan membuang sampah, dan semacamnya. Bila pada dataran yang paling kasatmata ini pun tidak terjadi perubahan habitus, mungkin terlalu tinggi bermimpi tentang perubahan dalam soal yang secara publik lebih tersembunyi, seperti jual-beli gelar dan korupsi. Dan yang penting lagi, gerakan perubahan habitus ini tidak mungkin dibebankan hanya kepada presiden meskipun mungkin dipimpin olehnya. Agenda perubahan habitus inilah, dan bukan siasat menaikkan harga bahan bakar minyak, yang jauh lebih pantas dipasang sebagai iklan sebesar halaman koran.Corak habitus kita sebagai sebab tersembunyi banyak kemacetan bangsa ini mungkin terdengar seperti dongeng peri ketika diajukan pertama kali. Setiap kebenaran selalu lebih dahulu terasakan daripada terkatakan. Saat pertama diajukan, biasanya ia juga terungkap dalam rumusan yang serba cacat. Dan untuk waktu yang lama kita akan tergagap-gagap memahami, sampai kesesakan bersama memaksa kita akhirnya mengakui.Dalam kesesakan itu, sesekali saya membayangkan seorang bijak yang datang ke tengah kita. Tatkala mendengar keluh kesah kita, ia hanya bersabda: Kejarlah dulu habitus baru, selebihnya akan ditambahkan kepadamu.Selamat Tahun Baru.B. Herry-Priyono
Pengajar Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta;
Sementara Tinggal di California
Makhluk apalagi nih?
Istilah 'habitus baru' mulai digunakan dalam nota pastoral Konferensi Waligereja Indonesia tahun 2004. Dikukuhkan sebagai tema sentral Gereja Katolik Indonesia dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia tahun 2005.
Apa maunya 'habitus baru' ini?